MISTERI DIBALIK KEUNIKAN CANDI SUKUH
Candi merupakan salah satu bangunan peninggalan nenek moyang yang sangat berharga. Sebuah candi biasanya dibuat sebagai tempat beribadah para penganut agama hindu-budha atau dapat juga digunakan sebagai tempat penyimpanan abu jenazah. Dalam sebuah candi terdapat cerita-cerita tertentu dengan relief yang dipahat di dinding-dinding candi yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat maupun ajaran yang berlaku dalam agama yang dianut.
Salah satu peninggalan bersejarah yang erotis adalah Candi Sukuh. Candi ini terletak di lereng Gunung Lawu, di desa Berjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, tepatnya di ketinggian 910 meter dari permukaan laut.
Candi Sukuh mempunyai bentuk dan susunan banguan yang berbeda dengan bentuk dan susunan candi-candi yang ada di Jawa tengah, bahkan dapat dikatakan mempunyai bentuk yang spesifik di Indonesia.
Secara keseluruhan kompleks candi sukuh merupakan bangunan berteras yang membujur dari timur ke barat dengan pintu masuk dari arah barat. Susunan bangunan seperti ini mengingatkan kita pada zaman pra sejarah, khususnya zaman megalitik yang disebut bangunan punden berundak.
Tahun 1815 semasa pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles, Residen Johnson di Surakarta diperintahkan untuk melakukan pencarian dan pengumpulan data di Pulau Jawa guna penulisan buku The History of Java. Pencarian data tersebut Johnson menemukan Candi Sukuh yang berada di kaki Gunung Lawu. Demi tujuan inilah kemudian studi tentang berbagai candi di Jawa dan tempat-tempat lainnya di Indonesia dilakukan. Tahun 1928 pemerintahan Belanda melakukan penelitian untuk membuka rahasia yang ada di Candi Sukuh.
Berdasarkan relief dan ukiran huruf-huruf dibagian candi yang bertuliskan Gapura Bhuto Anguntal Jalma yang memiliki makna seorang raksasa memangsa manusia, melalui lambang condro sengkolo dalam kalender jawa dapat diartikan gapuro = gerbang angka 9, buhto = raksasa angka 5, angunthal = memangsa angka 3, jalmo = manusia angka 1, jika dibalik akan diperoleh angka 1359 tahun saka atau menjadi 1437 M, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa candi sukuh ini dibangun pada abad XV.
Pakar sejarah kepurbakalaan termasuk para arkeolog hingga kini belum mengetahui secara tepat siapa dan kerajaan mana yang membangun candi sukuh. Melalui motif-motif pada reliefnya, mereka hanya berpendapat bahwa candi ini merupakan perpaduan antara kebudayaan kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Brawijaya V menjelang keruntuhannya dengan sebuah kerajaan lain di Jawa.
Candi yang merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit ini, memiliki tiga buah teras (pundan berundak), dan bangunan-bangunan lain yang kini hanya tinggal sisa-sisanya saja. Ketiga teras ini dihubungkan dengan tangga, dimana setiap teras mempunyai satu buah gerbang masuk.
Bangunan paling besar atau bangunan utama adalah sebuah piramida yang bagian puncaknya rata, dengan tinggi mencapai 6 meter. Bangunan ini terletak di teras yang paling tinggi.
Secara keseluruhan, Candi Sukuh memang terlihat sangat sederhana. Tapi yang mungkin paling menarik dan menjadi ciri khas dari candi ini adalah, terdapatnya relief dalam bentuk alat kelamin laki-laki (lingga) dan perempuan (yoni), yang dibuat hampir bersentuhan. Relief ini bisa kita temukan di alas tangga pada pintu gerbang teras pertama.
Selain itu, dinding-dinding candi juga dihiasi dengan relief tubuh bidadari dengan posisi “pasrah”, serta relief rahim perempuan dalam ukuran cukup besar. Relief-relief seks itu menggambarkan lambang kesucian antara hubungan perempuan dan laki-laki yang merupakan cikal bakal kehidupan manusia. Hubungan laki-laki dan perempuan melalui relief ini dilambangkan bukan dengan cara melampiaskan hawa nafsu, tapi sangat sakral, merupakan curahan kasih sayang anak manusia untuk melahirkan sebuah keturunan. Dalam mitos umat Hindu, relief ini merupakan simbol kesucian yang biasa digunakan untuk membuktikan suci tidaknya seorang perempuan. Menurut R.V. Haryono, staf Dinas Pariwisata Karanganyar, jika setelah melangkahi relief ini, dari vagina perempuan tersebut keluar darah, maka ia masih suci. Sedangkan kalau perempuan itu sudah tidak perempuan, maka vaginanya hanya basah.
Relief ini juga bisa dipakai oleh para suami yang ingin membuktikan kesetiaan istrinya. Caranya, sang suami menyuruh istrinya meloncati relief itu. Menurut mitos yang diyakini umat Hindu, jika kainnya robek, berarti sang istri tersebut tidak melakukan serong. Tapi kalau ternyata kainnya tidak sobek, berarti sang istri berbuat hal-hal yang tidak senonoh.
Selain relief lingga/ yoni, kita juga bisa menemukan relief yang berisi tentang kisah Sudhamala dan Garuda, dan relief yang menceritakan aktivitas pandai besi. Peninggalan bersejarah lain yang dapat kita lihat di komplek Candi Suku ini adalah arca/ patung besar garuda, kura-kura, dan pelindung.
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.
Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda, W.F. Stutterheim, pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Kedua candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi. Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhannya Majapahit, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya. Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit.
Candi Sukuh dibangun dalam tiga susunan trap (teras), dimana semakin kebelakang semakin tinggi. Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi. Dilantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan phallus berhadapan dengan vagina. Sepintas memang nampak porno, tetapi tidak demikian maksud si pembuat. Sebab tidakmungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadahan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief ini mengandung makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”.
Pada teras kedua juga terdapat gapura namun kondisinya kini telah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama.
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.
Dengan struktur bangunan seperti ini boleh dibilang Candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah itulah tempat yang paling suci. Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi Sukuh ini. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan batu di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di bangunan suci prasejarah jaman Megalithic.
Di sebelah selatan jalan batu, di pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari.di kayangan dengan nama bethari Uma Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil “ngruwat”.Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala.
Pada lokasi ini terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian Tirta Amerta yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti. Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari Tirta Amerta.
Ada lima relief yang ada di Candi Sukuh yaitu:
a) Relief pertama
Relief pertama ini menceritakan percakapan Dewi Uma dengan Sadewa. Adegan ini terjadi setelah Batari Durga berhasil diruwat oleh Sadewa. Dewi Uma dan pengiringnya digambarkan telah menjadi wanita yang cantik kembali, dan berdiri diatas asana.
Sadewa dan semar duduk bersimpuh didepan Dewi Uma sambil menyebah. Di latar belakang ada gambar sebuah rumah, bangunan meru tumpang lima, pohon semboja, pinang, dan randu alas.
b) Relief kedua
Pada relief ini melukiskan adegan adu kekuatan antara Bima dan raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Dalam relief, raksasa tersebut diwakili oleh satu raksasa saja. Bima digambarkan berdiri dan tangan kanannya berada diperut raksasa seakan mau merobek perutnya. Dengan Kekuatan yang luar biasa Bima mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pancanakanya. Relief ini juga menggambarkan tentang kebaikan (Bima) yang melawan kejahatan. Kalantaka dan Kalanjaya adalah jelmaan bidadari yang dikutuk karena telah melanggar aturan.
c) Relief ketiga
Pada relief ketiga ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasa yang berwajah seram dan mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan, Kalantaka dan Kalanjaya menyertai batari durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa.
Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam akan dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Dewi Durga dari kutukan, dibelakangnya terlihat semar duduk meringkuk penuh ketakutan. Sadewa dikelilingi hantu yang melayang-layang dan diatas pohon sebelah kanan terdapat dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini merupakan lukisan dihutan setra Gandamamayit, tempat pembuangan para Dewa yang diusir dari surge karena melanggar aturan.
d) Relief keempat
Pada bagian relief ini digambarkan adegan disebuah taman indah dimana Sadewa sedang bercengkrama dengan Tambrapetra dan putrinya Nyi Padapa dan seorang punakawan dipertapaan Prangalas. Tambrapetra berterimakasih dan memberi putrinya kepada Sadewa untuk dinikahi.
e) Relief kelima
Pertemuan Dewi Kunti dengan Sadewa. Dewi Kunti berdiri diatas asana dan dibelakangnya duduk bersimpuh seorang Punakawan. Didepan dewi kunti duduk bersimpuh Sadewa diatas tanah sambil menyembah begitu juga Semar yang ada dibelakang Sadewa. Dilatar belakang gambar sebuah pohon pinang yang berbuah. Relief ini menggambarkan adegan pada waktu Dewi Kunti minta kepada Sadewa untuk meruwat Batari Durga yang dikutuk Dewa Siwa.
Apabila dilihat dari fungsi candi sebagai kuil yang bisa digunakan untuk tempat sembahyang, apakah ada hubungannya dengan cerita ruwatan pada reliefnya. Ada beberapa tokoh yang berpendapat tentang cerita ruwatan dengan relief candi sukuh, seperti Krom berpendapat bahwa relief cerita yang ada di candi diutamakan sifat dekoratifnya. Ide dasarnya adalah menghiasi candi sebanyak mungkin dan tujuan ini dicapai antara lain dengan member ilustrasi cerita-cerita. Kempres menyatakan bahwa cerita ini dipenuhi unsur-unsur yang berhubungan dengan pembebasan orang dari segala jenis bahaya dan sakit. Kempres menyimpulkan bahwa candi sukuh mempunyai fungsi sebagai medium untuk pembebasan roh leluhur yang meninggalkan segala ikatan duniawi. Leuw dan Holt mereka tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Krom bahwa keberadaan relief cerita di candi hanya mempunyai nilai dekoratif saja, tetapi lebih dari itu relief cerita di candi mempunyai fungsi religius bagi orang yang sudah meninggal. Subrito dan Mulyana berpendapat bahwa keberadaan relief cerita ruwatan mempunyai fungsi religius bagi orang yang masih hidup. Jadi dapat disimpulkan bahwa keberadaan relief cerita ruwatan di candi sukuh tidak hanya sebatas dekoratif saja, tetapi juga relief cerita ruwatan mempunyai fungsi religius yang sampai sekarang masih terpecah manjadi dua yaitu diperuntukan bagi orang yang telah meninggal atau orang yang masih hidup.
Kesimpulan
Candi Sukuh terletak di lereng Gunung Lawu. Letaknya ditempat ketinggian dan sulit dicapai menunjukan semangat religius yang tinggi. Prasasti yang ditemukan menunjukan abad XV atau masa kerajaan Majapahit oleh raja Brawwijaya V yang berkuasa di Jawa Tengah. Ditunjau dari latar belakang pendirian candi sukuh adalah untuk menujang kegiatan upacara agama hindu. Ornamen-ornamen dan relief menunjukan hal-hal yang dilakukan manusia dan cerita tentang kidung sudamala. Seperti pada ukiran gerbang pertama ada relief burung garuda dan relief alat kelamin perempuan dan laki-laki dilingkari oleh rantai. Hingga ke candi induk relief yang mungkin saja kalau jarang melihat akan menjadi jijik karenanya.
Relief candi sukuh jaga sangat berhubungan erat dengan fungsi candi sebagai kuil karena di dalam relief itu menceritakan tentang preoses pembebasan nasib buruk seseorang atau yang sering disebut ruwatan sebagai contoh relief Sudamala dan Garudeya.
Sumber
Asmadi, Suwarno. Soemadi, Haryono. 2004. Candi Sukuh antara situs pemujaan dan pendidikan seks. Surakarta: C.V Masa Baru
Ds, Slamet. 1999. Cerita Ruwatan Di Candi Sukuh. Bidang Permusiuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Provinsi Jawa Tengah.
www.wikipedia.org/wiki/candi_sukuh
www.budayacandisukuh.org