Identitas buku
Penulis :
Suhartono
Penerbit :
Aditya Media
Tahun terbit :
1993
Judul :
Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850-1942 di Jawa
Jumlah halaman : XII + 180 halaman
Jumlah bab :
6 Bab
Sejak tahun 1800 pemerintah kolonial mengubah
cara eksploitasi dari cara lama yang dikelola oleh VOC menjadi eksploitasi yang
dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Untuk mendapatkan komoditi
sebesar-besarnya pemerintah mengatur dengan cara modern melalui birokrasi
modern dengan memanfaatkan asset utama yaitu tanah. Masuknya perkebunan ke
pedesaan Jawa berarti terjadi dependensi dengan perkebunan. Petani menjadi
sangat tergantung hidupnya dari perkebunan sebab sejak itu proses monetisasi
makin lancer dengan mulai diperkenalkannya upah kerja. Praktek perkebunan
memang tidak memberi hak hidup para petani. Perkebunan telah menelan tanah dan
tenaga kerja hingga petani tidak
kebagian hajat hidup yang akibatnya penderitaan petani makin parah.
Sebagai wujud kekecewaan karena
kekayaannya dirampok oleh perkebunan maka petani melakukan tindakan yang kasar.
Perbanditan muncul di pedesaan terutama di daerah sekitar perkebunan karena
adanya berbagai desakan perkebunan. Perbanditan merupakan salah satu respon
petani yang diwujudkan dalam bentuk protes. Dalam penelitian ini memfokuskan
tiga daerah karesidenan Baten dan Batavia, Yogyakarta dan Surakarta atau
Vorstenlanden dan Pasuruhan dan Probolinggo. Secara temporal penelitian ini
dimulai 1850-1942. Perbanditan sosial memahami dunia konflik dalam masyarakat kapitalis
agraris baik konflik di dalam golongan maupun di luar golongannya. Faktor
sosio-politik, ekonomi, dan kultural sangat dominan dalam menggali perbanditan
pedesaan.
Timbulnya perkebunan dan tanah-tanah partikelir di Jawa adalah babak
baru bagi ekonomi perkebunan. Di Jawa Barat di Banten-Batavia banyak dikenal
tanah partikelir yang menghasilkan gula, kopi, teh, tembakau, cokelat, kina,
fuli, lada, indigo. Di Vorstanlanden memiliki yang subur yang dikembangkan
sebagai agro industry oleh pemerintah kolonial. Eko geografi tebu cocok
menempati sawah-sawah subur di daerah sepanjang pantai utara karisidenan
Pasuruhan dan Probolinggo.
Di dalam masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat Jawa berlaku hubungan patron-klien, dalam hubungan ini
raja dianggap mempunyai kedudukan lebih tinggi karena ia sebagai pemilik tanah
sedangkan rakyat hanya mempunyai tenaga kerja yang dinilai rendah. Kehidupan
petani di tanah partikelir memang berat karena berbagai pajak dan layanan yang
harus diserahkan kepada tuan tanah Belanda dan Cina. Kondisi inilah menyebabkan
kehidupan petani di tanah-tanah partikelir selalu ada di bawah subsitensi.
Sejak masa kerajaan, kondisi
sosio-ekonomi petani tidak pernah berlebihan karena kedudukan petani yang
rendah yang membawa konsekuensi bermacam-macam. Dalam perkembangan selanjutnya
petani mendapat upah karena berkembangnya monetisasi yang antara lain berupa
kerja upah, tetapi perolehan petani dikonsumsikan kembali dan praktis mereka
tidak mempunyai uang kontan lagi. Semakin maju dan luas perkebunan di pedesaan
semakin cepat pula perubahan kehidupan petani. Mereka menjual hasil pekarangan
dan tenaganya untuk mendapatkan uang dan dari uang itulah roda kehidupan petani
berjalan secara lambat itu merupakan nasib petani sebagai wong cilik. Secara struktural
kedudukan petani ada di strata bawah
yang mau tidak mau dikuasai struktur atas.
Meskipun setelah tahun 1870-an
terjadi perkembangan kerja bebas yang menghargai buruh sebagai pemilik tenaga
kerja yang dapat mengadakan kontak atau perjanjian kerja dengan majikan, tetapi
dalam praktek masih mengikuti cara lama yaitu cara kolektif yang pelaksanaannya
diserahkan kepala desa. Kepala-kepala desa di tiga daerah tersebut menjadi
pemegang peranan dalam melegitimasi rekruitmen tenaga kerja petani untuk kepentingan
sendiri. Tenaga kerja petani sudah direkrut dengan sistem pancen untuk para
birokrat yang kemudian disediakan untuk birokrat kolonial.
Di daerah perkebunan petani
dituntut loyalitas tanpa reserve artinya petani sepenuhnyamengabdi kepentingan
para patron, baik patron hitam, putih ataupun kuning. Tekanan para patron itu
dirasakan berat oleh petani, bukan hanya mereka harus menyediakan tenaga
kerjanya tetapi seluruh miliknya dikorbankan untuk patron. Meskipun pihak
perkebunan dan pabrik berkeras kepala mengatakan bahwa petani mendapat upah
kerja tetapi upah itu tidak sebanding dengan tenaga kerja dilakukan. Rekruitmen
tenaga kerja yang berlebihan dan tetap memfungsikan petani sebagai tenaga kerja
murah tidak memberi kesempatan mereka mendapatkan mobilitas sosial. Otonomi
desa yang semula diinginkan semakin memudar dengan masuknya perkebunan yang
secara psikologis menekan dan menindas petani.
Perasaan tidak puas yang tidak
dapat ditolerasikan sebagai akibat dominasi perkebunan mendorong petani
menyiapkan diri yang akhirnya membulatkan tekad untuk melawan pihak-pihak yang
dianggap merugikan petani. Untuk menciptakan reaksi itu harus dimunculkan
budaya pembebasan terhadap tekanan perkebunan untuk itu dicarinya iklim yang
baik guna menumbuhkan tindakan kolektif yang walaupun tidak besar tetapi mampu menghadapi
tekanan-tekanan yang ada di pedesaan. Lahir dan perkembangan perbanditan bukan
hanya karena masalah ekonomi tetapi juga masalah politik yang memperkuat reaksi
dan resistensi yang tidak henti-hentinya.
Kesadaran petani untuk memperbaiki
nasibnya ini mendapat wadah setelah lahirnya SI, PEB, dan juga PKI. Memang
disini terdapat kesejajaran tujuan antara petani dan organisasi-organisasi itu
sehingga dengan mudah mereka bergabung di dalamnya. Petani sendiri tanpa
menyadari bahwa mereka sudah masuk dalam kotak politik dan ideologi partai
tertentu. Karena itulah radikalisme dan resistensi makin mendapat binaan pada
petani yang sebenarnya digunakan demi tujuan organisasi. Petani dijadikan masa
yang kuat untuk menghadapi pemerintah kolonial dan perkebunan yang kapitalis.
Dalam buku Bandit – bandit pedesaan karangan Suhartono memiliki keunggulan
mendiskripsikan suatu peristiwa atau kejadian dengan runtut dan baik, serta si
pengarang juga mencantumkan peta, keterangan, dan daftar istilah yang mendukung
sehingga pembaca bisa memahami dan mengetahui dimana saja peristiwa – peristiwa
itu terjadi dengan melihat peta dan apabila dalam membaca si pembaca mengalami
kesulitan dalam memahami suatu istilah maka pembaca dapat melihat daftar
istilah yang berada diakhir – akhir halaman buku itu.
Selain itu buku bandit – bandit pedesaan ini memiliki keunggulan juga
memiliki kekurangan yaitu bahasa yang digunakan oleh pengarang masih sulit
dipahami sehingga pembaca harus lebih jeli dan menghayati dalam membaca buku
ini agar pembaca mengetahui maksud dan isi di dalam buku itu, masih adanya
kesalahan dalam pengetikan baik dalam tanda baca maupun kata – kata dalam suatu
kalimat, kurang menariknya sampul buku itu sehingga menjadi kendala bagi
masyarakat yang ingin membacanya.
Jika buku bandit – bandit di bandingkan karangan Suhartono dengan buku
pemberontakan petani di Banten karangan Sartono Kartodirjo memiliki latar yang
sama yaitu tentang penindasan terhadap kaum petani dipedesaan pada masa itu dan
membuat suatu organisasi buat mempertahankan kaum petani. Dalam bukunya Sartono
Kartodirjo hanya mengambil lingkup wilayah Banten sehingga pembaca masih kurang
puas dan penasaran bagaimana dampak perlawana terhadap pengusa. Sedangkan dalam
bukunya Suhartono mengmbil lingkup tiga wilayah yaitu Banten – Batavia, Yogyakarta – Surakarta, dan
Pasuruhan – Probolinggo sehingga membahasnya lebih lengkap dan runtu serta buku
ini bisa menjadi solusi karena ruang lingkupnya lebih luas tidak dalam satu wilayah
saja.