Jumat, 12 April 2013

RESENSI BUKU

Identitas buku
Penulis                         : Suhartono
Penerbit                       : Aditya Media
Tahun terbit                 : 1993
Judul                           : Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850-1942 di Jawa
Jumlah halaman           : XII + 180 halaman
Jumlah bab                  : 6 Bab

Sejak tahun 1800 pemerintah kolonial mengubah cara eksploitasi dari cara lama yang dikelola oleh VOC menjadi eksploitasi yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Untuk mendapatkan komoditi sebesar-besarnya pemerintah mengatur dengan cara modern melalui birokrasi modern dengan memanfaatkan asset utama yaitu tanah. Masuknya perkebunan ke pedesaan Jawa berarti terjadi dependensi dengan perkebunan. Petani menjadi sangat tergantung hidupnya dari perkebunan sebab sejak itu proses monetisasi makin lancer dengan mulai diperkenalkannya upah kerja. Praktek perkebunan memang tidak memberi hak hidup para petani. Perkebunan telah menelan tanah dan tenaga kerja hingga petani tidak  kebagian hajat hidup yang akibatnya penderitaan petani makin parah.
Sebagai wujud kekecewaan karena kekayaannya dirampok oleh perkebunan maka petani melakukan tindakan yang kasar. Perbanditan muncul di pedesaan terutama di daerah sekitar perkebunan karena adanya berbagai desakan perkebunan. Perbanditan merupakan salah satu respon petani yang diwujudkan dalam bentuk protes. Dalam penelitian ini memfokuskan tiga daerah karesidenan Baten dan Batavia, Yogyakarta dan Surakarta atau Vorstenlanden dan Pasuruhan dan Probolinggo. Secara temporal penelitian ini dimulai 1850-1942. Perbanditan sosial memahami dunia konflik dalam masyarakat kapitalis agraris baik konflik di dalam golongan maupun di luar golongannya. Faktor sosio-politik, ekonomi, dan kultural sangat dominan dalam menggali perbanditan pedesaan.
Timbulnya perkebunan dan  tanah-tanah partikelir di Jawa adalah babak baru bagi ekonomi perkebunan. Di Jawa Barat di Banten-Batavia banyak dikenal tanah partikelir yang menghasilkan gula, kopi, teh, tembakau, cokelat, kina, fuli, lada, indigo. Di Vorstanlanden memiliki yang subur yang dikembangkan sebagai agro industry oleh pemerintah kolonial. Eko geografi tebu cocok menempati sawah-sawah subur di daerah sepanjang pantai utara karisidenan Pasuruhan dan Probolinggo.
Di dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa berlaku hubungan patron-klien, dalam hubungan ini raja dianggap mempunyai kedudukan lebih tinggi karena ia sebagai pemilik tanah sedangkan rakyat hanya mempunyai tenaga kerja yang dinilai rendah. Kehidupan petani di tanah partikelir memang berat karena berbagai pajak dan layanan yang harus diserahkan kepada tuan tanah Belanda dan Cina. Kondisi inilah menyebabkan kehidupan petani di tanah-tanah partikelir selalu ada di bawah subsitensi.
Sejak masa kerajaan, kondisi sosio-ekonomi petani tidak pernah berlebihan karena kedudukan petani yang rendah yang membawa konsekuensi bermacam-macam. Dalam perkembangan selanjutnya petani mendapat upah karena berkembangnya monetisasi yang antara lain berupa kerja upah, tetapi perolehan petani dikonsumsikan kembali dan praktis mereka tidak mempunyai uang kontan lagi. Semakin maju dan luas perkebunan di pedesaan semakin cepat pula perubahan kehidupan petani. Mereka menjual hasil pekarangan dan tenaganya untuk mendapatkan uang dan dari uang itulah roda kehidupan petani berjalan secara lambat itu merupakan nasib petani sebagai wong cilik. Secara struktural kedudukan petani ada di strata  bawah yang mau tidak mau dikuasai struktur atas.
Meskipun setelah tahun 1870-an terjadi perkembangan kerja bebas yang menghargai buruh sebagai pemilik tenaga kerja yang dapat mengadakan kontak atau perjanjian kerja dengan majikan, tetapi dalam praktek masih mengikuti cara lama yaitu cara kolektif yang pelaksanaannya diserahkan kepala desa. Kepala-kepala desa di tiga daerah tersebut menjadi pemegang peranan dalam melegitimasi rekruitmen tenaga kerja petani untuk kepentingan sendiri. Tenaga kerja petani sudah direkrut dengan sistem pancen untuk para birokrat yang kemudian disediakan untuk birokrat kolonial.
Di daerah perkebunan petani dituntut loyalitas tanpa reserve artinya petani sepenuhnyamengabdi kepentingan para patron, baik patron hitam, putih ataupun kuning. Tekanan para patron itu dirasakan berat oleh petani, bukan hanya mereka harus menyediakan tenaga kerjanya tetapi seluruh miliknya dikorbankan untuk patron. Meskipun pihak perkebunan dan pabrik berkeras kepala mengatakan bahwa petani mendapat upah kerja tetapi upah itu tidak sebanding dengan tenaga kerja dilakukan. Rekruitmen tenaga kerja yang berlebihan dan tetap memfungsikan petani sebagai tenaga kerja murah tidak memberi kesempatan mereka mendapatkan mobilitas sosial. Otonomi desa yang semula diinginkan semakin memudar dengan masuknya perkebunan yang secara psikologis menekan dan menindas petani.
Perasaan tidak puas yang tidak dapat ditolerasikan sebagai akibat dominasi perkebunan mendorong petani menyiapkan diri yang akhirnya membulatkan tekad untuk melawan pihak-pihak yang dianggap merugikan petani. Untuk menciptakan reaksi itu harus dimunculkan budaya pembebasan terhadap tekanan perkebunan untuk itu dicarinya iklim yang baik guna menumbuhkan tindakan kolektif yang walaupun tidak besar tetapi mampu menghadapi tekanan-tekanan yang ada di pedesaan. Lahir dan perkembangan perbanditan bukan hanya karena masalah ekonomi tetapi juga masalah politik yang memperkuat reaksi dan resistensi yang tidak henti-hentinya.
Kesadaran petani untuk memperbaiki nasibnya ini mendapat wadah setelah lahirnya SI, PEB, dan juga PKI. Memang disini terdapat kesejajaran tujuan antara petani dan organisasi-organisasi itu sehingga dengan mudah mereka bergabung di dalamnya. Petani sendiri tanpa menyadari bahwa mereka sudah masuk dalam kotak politik dan ideologi partai tertentu. Karena itulah radikalisme dan resistensi makin mendapat binaan pada petani yang sebenarnya digunakan demi tujuan organisasi. Petani dijadikan masa yang kuat untuk menghadapi pemerintah kolonial dan perkebunan yang kapitalis.
Dalam buku Bandit – bandit pedesaan karangan Suhartono memiliki keunggulan mendiskripsikan suatu peristiwa atau kejadian dengan runtut dan baik, serta si pengarang juga mencantumkan peta, keterangan, dan daftar istilah yang mendukung sehingga pembaca bisa memahami dan mengetahui dimana saja peristiwa – peristiwa itu terjadi dengan melihat peta dan apabila dalam membaca si pembaca mengalami kesulitan dalam memahami suatu istilah maka pembaca dapat melihat daftar istilah yang berada diakhir – akhir halaman buku itu.
Selain itu buku bandit – bandit pedesaan ini memiliki keunggulan juga memiliki kekurangan yaitu bahasa yang digunakan oleh pengarang masih sulit dipahami sehingga pembaca harus lebih jeli dan menghayati dalam membaca buku ini agar pembaca mengetahui maksud dan isi di dalam buku itu, masih adanya kesalahan dalam pengetikan baik dalam tanda baca maupun kata – kata dalam suatu kalimat, kurang menariknya sampul buku itu sehingga menjadi kendala bagi masyarakat yang ingin membacanya.
Jika buku bandit – bandit di bandingkan karangan Suhartono dengan buku pemberontakan petani di Banten karangan Sartono Kartodirjo memiliki latar yang sama yaitu tentang penindasan terhadap kaum petani dipedesaan pada masa itu dan membuat suatu organisasi buat mempertahankan kaum petani. Dalam bukunya Sartono Kartodirjo hanya mengambil lingkup wilayah Banten sehingga pembaca masih kurang puas dan penasaran bagaimana dampak perlawana terhadap pengusa. Sedangkan dalam bukunya Suhartono mengmbil lingkup tiga wilayah yaitu  Banten – Batavia, Yogyakarta – Surakarta, dan Pasuruhan – Probolinggo sehingga membahasnya lebih lengkap dan runtu serta buku ini bisa menjadi solusi karena ruang lingkupnya lebih luas tidak dalam satu wilayah saja.